Article Image

Eksistensialisme Kafka, Seni, Dan Pertanyaan Besar Tentang Diri Kita

26 April 2024, 15:30 WIB Budaya

Suatu sore yang tak begitu cerah, setelah pentas perdana, saya duduk termenung di depan Auditorium. Teman-teman masih bersemangat, sementara saya dibombardir pertanyaan: sebenarnya, apa gunanya semua kerja keras dalam seni ini?

Ingatan saya melayang pada berbagai peristiwa pembredelan karya seni: pameran lukisan yang dibatalkan, novel-novel klasik yang dilarang beredar. Pertanyaan itu semakin menguat: apa tugas seorang seniman sejati jika karyanya dicekal? Bukankah seniman seharusnya menyuarakan keresahan, baik dari dalam maupun luar dirinya? Bukankah esensi seni, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf eksistensialis Soren Kierkegaard, adalah tentang individu yang bertanggung jawab atas kebebasan dan pilihannya, yang memberi makna pada hidupnya sendiri?

Lalu, Apa yang Terjadi Jika Karya Seni Dibredel?

Tapi, bagaimana jika ada pihak yang membatasi kebebasan berekspresi itu? Ada yang berpendapat, karya seniman yang terpinggirkan justru akan menjadi lebih fenomenal. Benarkah demikian? Saya teringat pada Franz Kafka.

Franz Kafka, penulis asal Praha yang lahir di keluarga Yahudi-Jerman, dikenal sebagai pegawai asuransi, novelis, dan cerpenis berpengaruh di abad ke-20. Banyak kritikus menyebutnya sebagai pelopor sastra modern karena gaya tulisannya yang unik dan eksistensialis. Karyanya, seperti Metamorfosis, Kastil, dan Kontemplasi, seringkali merefleksikan kegelisahan dan kesendiriannya. Ia meninggal muda karena tuberkulosis.

Apa Hubungan Franz Kafka dengan Dunia Seni Kontemporer?

Karya Kafka menarik karena tokoh-tokohnya seringkali terasing, termarginalkan, atau ditolak oleh komunitasnya. Mereka menjadi anomali, seperti Gregor Samsa dalam Metamorfosis yang berubah menjadi serangga. Kafka dengan brilian mengeksplorasi tema alienasi, keluarga, dan eksistensi manusia dalam masyarakat modern.

Metamorfosis bercerita tentang Gregor Samsa, seorang pedagang kain yang suatu pagi terbangun sebagai serangga raksasa. Ia masih berpikir layaknya manusia, tetapi kondisinya membuatnya tak mampu menjalankan aktivitas normal. Keluarga Gregor, awalnya mencoba memahami, lama-lama malah menjauhinya dan menganggapnya beban. Gregor akhirnya mati sendirian di kamarnya.

Gregor awalnya digambarkan sebagai sosok pekerja keras dan bertanggung jawab. Namun, ia juga terbebani oleh pekerjaan dan rutinitas yang membosankan. Transformasinya menjadi serangga melambangkan alienasi dan keterasingan. Melihatnya melalui lensa eksistensialisme Jean-Paul Sartre, kita melihat beberapa faktor yang menyebabkan absurditas dalam hidup Gregor: ketidakmampuan menerima kenyataan, kebebasan yang dibatasi, kurangnya kesadaran reflektif, pikiran negatif, pengaruh buruk orang lain, dan ketidakmampuan menentukan tujuan hidup.

Gregor Samsa terjebak dalam tekanan kebutuhan keluarga dan dunia kerja, tanpa ruang untuk mengejar keinginan pribadinya. Keluarganya malah memperburuk keadaan dengan mengabaikannya. Kita juga melihat pergolakan batin Gregor untuk menerima kenyataan, perasaan bersalah, dan krisis identitasnya.

Kisah Gregor dan karya Kafka membuat saya merenungkan posisi seniman di zaman sekarang. Saya merasakan situasi 'Kafkaesque' dalam dunia kesenian, di mana kebebasan berekspresi terancam. Ada kekhawatiran bahwa karya seni akan kembali mengalami masa-masa kelam.

Apakah Kita Sedang Menuju Era Pembredelan Karya Seni?

Setelah lukisan, lagu, dan esai, apa lagi yang akan dicekal? Entahlah. Mungkin saya terlalu sensitif, terlalu terpapar fenomena Kafkaesque, ketika kebebasan dibatasi. Tapi kekhawatiran itu tetap ada.

Yang jelas, pertanyaan besar tentang makna seni dan peran seniman tetap relevan, dan butuh perenungan lebih dalam. Kita perlu terus bertanya, bereksperimen, dan berjuang agar seni dapat tetap menjadi wadah ekspresi, cerminan diri, dan suara bagi semua orang.

Sumber : https://ketiketik.com/eksistensialisme-kafka-saya-dan-sejumlah-perayaan-tentang-diri-manusia/