Article Image

Ketika Anime, Manga, Dan Kritik Sosial Bertemu: Sebuah Percakapan Menarik

26 April 2024, 15:30 WIB Bacotan

Sore itu, Tono, seorang santri, menyelesaikan bacaan manga My Hero Academia. Namun, kedatangan Sarimin, adik kelasnya yang tampak murung, mengalihkan perhatiannya. Sarimin ternyata sedang bermasalah dengan gurunya, Pak Paidi, yang melarang membaca Attack on Titan karena dianggap tidak mendidik.

Tono tersenyum simpul. Ia teringat betapa sempitnya pandangan sebagian guru yang masih menganggap hanya buku pelajaran yang bernilai edukatif. Ia penasaran dengan bacaan Sarimin dan terkejut mendengar daftar panjang anime dan manga yang telah ia tonton dan baca, termasuk Tokyo Ghoul, Death Note, One Piece, Jujutsu Kaisen, dan Naruto. Tono bahkan bertanya, "Udah kamu tamatin semua itu?" Sarimin mengangguk mantap.

Apakah membaca manga dan anime memang tidak mendidik?

Pertanyaan Sarimin, "Emang bener, Kang, baca Attack on Titan nggak ada gunanya?", tak perlu dijawab panjang lebar bagi Tono. Baginya, membaca apa pun, termasuk komik, memiliki manfaatnya sendiri. Membaca komik bisa membuka jalan menuju bacaan lain, menumbuhkan minat baca, dan bahkan membentuk sudut pandang kritis. Pengalaman Tono sendiri membuktikan hal tersebut.

Tono meyakini manfaat membaca, jauh lebih baik daripada meneladani tokoh publik yang mengaku tidak suka membaca. Namun, ia tak langsung memberi ceramah. Ia lebih memilih mengajak Sarimin untuk berdiskusi, dimulai dengan tokoh favoritnya di Attack on Titan: Eren Yeager.

Mengapa tokoh antagonis justru lebih menarik?

Sarimin memilih Eren, dan Tono sedikit tercengang. Ia mengajukan pertanyaan yang memancing Sarimin untuk berpikir lebih dalam: "Tapi Eren kan jahat. Masa kamu jagoin dia?". Jawaban Sarimin, "Tapi dia kan jahat karena terpaksa, Kang. Dunia yang bikin dia jadi gitu," membuat Tono terhenyak. Sarimin mampu melihat konteks dan kompleksitas tokoh tersebut.

Percakapan berlanjut ke Jujutsu Kaisen. Sarimin memilih Geto Suguru sebagai tokoh favoritnya, bukan karena ia setuju dengan tindakan Geto, melainkan karena ia melihat ketidakmunafikan Geto sebagai kontras dengan para petinggi di dunia sihir. Sarimin, tanpa harus mempelajari teori politik, sudah mampu menangkap ketidakadilan sistem dan bagaimana kepentingan segelintir orang dapat merugikan banyak orang.

Bagaimana tokoh fiksi bisa mencerminkan realita sosial?

Tono menyadari ada jiwa pemberontak dalam diri Sarimin. Ia kemudian mencoba memperluas wawasan Sarimin dengan merekomendasikan berbagai novel, mulai dari Animal Farm dan 1984 karya George Orwell, Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, hingga karya-karya Dostoevsky, Kafka, dan Osamu Dazai. Tono juga menceritakan buku-buku tentang perang dan kemiskinan, dengan menekankan sisi tragis sekaligus komedi dalam kehidupan.

Namun, Tono menyadari ia telah terlalu bersemangat. Ia lalu beralih ke tokoh favorit Sarimin di Naruto: Madara Uchiha. Tono menahan diri untuk tidak langsung menyimpulkan Sarimin akan menjadi seorang revolusioner.

Situasi politik negeri yang sedang bergejolak tak bisa diabaikan. Nepotisme, hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, serta berbagai bentuk ketidakadilan menjadi latar belakang percakapan Tono dan Sarimin. Tono pun memutar video Pain's Shinra Tensei di YouTube, sebuah adegan ikonik dari Naruto Shippuden yang menggambarkan kehancuran Konoha yang korup. Tono berharap Sarimin dapat merasakan relevansi adegan tersebut dengan kondisi negara saat ini.

Percakapan Tono dan Sarimin menunjukkan bagaimana bahkan dari dunia fiksi, kita bisa belajar untuk kritis, memahami kompleksitas sosial, dan bahkan menemukan inspirasi untuk perubahan. Pengalaman tersebut menggarisbawahi pentingnya membaca dan berpikir kritis, tak peduli jenis bacaannya apa.

Sumber : https://ketiketik.com/anime-manga-membaca-negara-pleidoi-singkat-seorang-wibu/