Istilah "Quiet Quitting" akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, terutama di kalangan pekerja kantoran. Secara sederhana, "Quiet Quitting" bisa diartikan sebagai melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi jabatan, tanpa melakukan pekerjaan tambahan di luar jam kerja atau tanggung jawab yang sudah disepakati. Jadi, tidak ada lembur dadakan, tidak ada tanggung jawab tambahan di luar kontrak kerja, dan fokus utama adalah menyelesaikan tugas-tugas pokok saja.
Bukan berarti para "Quiet Quitter" malas bekerja. Mereka tetap menyelesaikan tugasnya dengan baik dan profesional. Yang membedakan adalah mereka menetapkan batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Mereka lebih menghargai waktu luang dan keseimbangan hidup, tanpa merasa perlu terus-menerus "memberi lebih" pada perusahaan.
Apakah "Quiet Quitting" Sama dengan Malas Kerja?
Banyak yang salah mengartikan "Quiet Quitting" sebagai kemalasan. Padahal, keduanya sangat berbeda. Orang malas bekerja cenderung menghindari tanggung jawab dan kualitas kerjanya buruk. Sebaliknya, para penganut "Quiet Quitting" tetap menjalankan tugasnya dengan baik, hanya saja mereka menolak untuk bekerja di luar jam kerja atau melebihi tanggung jawab yang telah disepakati.
Mereka menganggap "Quiet Quitting" sebagai bentuk menentukan batasan dan menegakkan hak mereka sebagai pekerja. Di tengah budaya kerja yang seringkali menuntut dedikasi berlebihan, "Quiet Quitting" muncul sebagai bentuk perlawanan yang lebih halus dan terukur.
Mengapa Orang Memilih "Quiet Quitting"?
Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk memilih gaya kerja "Quiet Quitting". Salah satu faktor utama adalah ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Banyak pekerja merasa terbebani dengan beban kerja yang berlebihan, jam kerja yang panjang, dan tekanan untuk selalu terhubung dengan pekerjaan bahkan di luar jam kerja.
Faktor lain adalah ketidakpuasan terhadap kompensasi dan perlakuan dari perusahaan. Jika upah yang diterima tidak sebanding dengan beban kerja dan dedikasi yang diberikan, maka "Quiet Quitting" bisa menjadi salah satu bentuk protes tanpa harus mengundurkan diri.
Selain itu, keinginan untuk mengutamakan kesehatan mental dan fisik juga menjadi motivasi yang kuat. Dengan menentukan batasan yang jelas, para "Quiet Quitter" berharap bisa menjaga keseimbangan hidup dan mencegah kelelahan fisik dan mental.
Apa Dampak "Quiet Quitting" Bagi Perusahaan?
Fenomena "Quiet Quitting" tentu memiliki dampak bagi perusahaan. Di satu sisi, perusahaan mungkin mengalami penurunan produktivitas jika para karyawan hanya fokus pada tugas pokok saja. Namun, di sisi lain, "Quiet Quitting" bisa menjadi cermin bagi perusahaan untuk mengevaluasi budaya kerja dan sistem kompensasi yang diterapkan.
Perusahaan harus memperhatikan keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Membuat lingkungan kerja yang positif, memberikan kompensasi yang adil, dan menghormati waktu luang karyawan adalah salah satu cara untuk mencegah munculnya "Quiet Quitting" dan meningkatkan loyalitas karyawan.
Kesimpulannya, "Quiet Quitting" adalah fenomena yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam. Ini bukan sekadar masalah malas kerja, tetapi juga cerminan dari ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Baik bagi karyawan maupun perusahaan, memahami konteks dan implikasinya sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.
Sebagai penutup, penting untuk mengingat bahwa keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi adalah sangat penting. Baik karyawan maupun perusahaan harus bersama-sama membangun lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental dan fisik setiap individu.
Sumber : https://www.manutd.com/en/imagegallery/detail/man-utd-players-train-before-facing-athletic-club-first-leg