Article Image

Topeng Digital: Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Identitas Kita?

26 April 2024, 15:30 WIB Bacotan

Psikolog Carl Gustav Jung pernah menyebut "persona" sebagai topeng sosial yang kita kenakan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Di era digital, konsep ini terasa lebih relevan dari sebelumnya. Dulu, kita membangun persona kita secara langsung; kini, media sosial menjadi panggung utama kita.

Media baru, dengan aksesibilitas dan digitalisasi yang luas, memungkinkan kita menampilkan diri kita kapan pun dan di mana pun. Kita tak perlu lagi tatap muka untuk membangun citra. Kita bisa memilih untuk menampilkan diri secara profesional di LinkedIn, kasual di Instagram, atau bahkan anonim di beberapa platform lainnya. Kebebasan ini, di satu sisi, memberikan kita kendali penuh atas bagaimana orang lain melihat kita.

Apakah Media Sosial Membantu Kita Beradaptasi atau Justru Mengasingkan Diri?

Platform media sosial menyajikan realitas yang berbeda-beda. Instagram mendorong kita untuk menampilkan citra ideal, sementara LinkedIn lebih fokus pada pencapaian profesional. Tanpa disadari, kita bisa membangun identitas semu yang jauh dari diri kita yang sebenarnya. Ini bukanlah masalah besar jika kita bijak menyikapinya, tetapi bagaimana jika pembentukan citra online ini justru menimbulkan keterasingan?

Persona, awalnya dirancang untuk membantu kita beradaptasi, kini berpotensi menjadi bumerang di dunia maya yang serba cepat. Eksistensi kita terasa rentan, dan keterputusan dengan diri sendiri menjadi ancaman nyata. Kita mungkin sibuk mengejar validasi di media sosial, tanpa benar-benar memahami jati diri kita sendiri. Ini mengarah pada alienasi, sebuah kondisi keterasingan dari diri sendiri.

Bisakah Kita Tetap "Ada" Tanpa Membangun Persona Sempurna di Media Sosial?

Alienasi, yang awalnya dikaitkan dengan sistem kapitalis, kini meluas ke ranah personal. Media sosial, meskipun menghubungkan kita dengan orang lain, juga bisa memperparah perasaan terasing. Realitas di media sosial, kadang-kadang, hanyalah simulasi—citra-citra kosong tanpa makna yang dalam.

Rene Descartes pernah berkata, "Cogito, ergo sum" – aku berpikir, maka aku ada. Di era media sosial, ungkapan ini mungkin berubah menjadi "Aku bermedia sosial, maka aku ada." Keberadaan kita di dunia maya seakan diukur dari seberapa sukses kita membangun persona online yang sempurna. Namun, apakah kita harus mengorbankan jati diri kita demi sebuah citra yang sempurna?

Kita perlu bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai kita terperangkap dalam mengejar validasi eksternal dan melupakan pentingnya memahami diri sendiri. Media sosial hanyalah alat, dan kita harus tetap memegang kendali atas bagaimana kita menggunakannya. Mencari keseimbangan antara presentasi diri online dan penerimaan diri yang utuh adalah kunci agar kita tetap terhubung dengan diri sendiri di tengah hiruk-pikuk dunia digital.

Bagaimana Kita Menjaga Keseimbangan antara Dunia Nyata dan Dunia Maya?

Berikut beberapa tips untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan nyata dan online:

  • Batasi waktu penggunaan media sosial.
  • Sadari bahwa media sosial hanya menampilkan sebagian kecil dari kehidupan seseorang.
  • Fokus pada interaksi nyata dengan orang-orang terdekat.
  • Kembangkan hobi dan minat di luar media sosial.
  • Jangan terlalu terobsesi dengan jumlah like atau follower.
  • Ingatlah bahwa nilai diri Anda tidak ditentukan oleh penampilan online.

Menjadi diri sendiri, baik di dunia nyata maupun maya, adalah kunci kebahagiaan dan kepuasan hidup. Jangan sampai topeng digital yang kita kenakan menutupi keindahan dan keunikan diri kita yang sebenarnya.

Penulis lepas yang tertarik dengan kajian media.

Sumber : https://ketiketik.com/persona-media-baru-alienasi-dan-manifestasi-topeng-sosial-yang-digunakan/