Warna, lebih dari sekadar unsur visual, mengangkut muatan estetika yang mendalam. Tapi dalam pameran "Colors of Life", warna bukan hanya soal keindahan semata. Ia menjadi cerminan jiwa dan pengalaman hidup para seniman yang terlibat.
Kita semua menyukai warna, bukan? Ada semacam kesederhanaan dan kegembiraan emosional yang melekat padanya. Ungkapan "hidup ini penuh warna" memang klise, tetapi sebenarnya sangat tepat. Begitulah pemikiran tiga seniman—Arita Savitri, Djoko Sardjono, dan Rakhmat Supriyono—yang menjadikan warna dan kehidupan sebagai tema utama pameran mereka.
Apa yang membuat pameran "Colors of Life" begitu spesial?
Pameran ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari penggunaan warna dalam karya seni itu sendiri. Kedua, dari warna kehidupan pribadi seniman yang menginspirasi pemilihan warna tersebut. Batas antara kedua sudut pandang ini sangat tipis, bahkan saling memengaruhi satu sama lain.
Arita Savitri, misalnya, memamerkan karya kirigami dan lukisan. Kirigami, seni menggunting kertas dari Jepang, menjadi media bagi Arita untuk mengekspresikan ketegangan-ketegangan psikologis. Karya-karyanya, baik yang dua maupun tiga dimensi, menampilkan pola-pola yang teratur dan indah, berbanding terbalik dengan kompleksitas emosi yang ia alami. Motif floral kerap muncul, seakan bunga-bunga merepresentasikan pelepasan dari tekanan batin.
Uniknya, Arita menggunakan pewarna makanan untuk meniru warna-warna alamiah. Selain tema alam, ia juga menampilkan karya-karya yang bertema historis dan religius, seperti lukisan candi dan wajah Yesus Kristus. Menariknya, musik yang ia dengarkan juga ikut mempengaruhi pilihan warna dan subjek lukisannya.
Bagaimana sejarah dan arsitektur direpresentasikan dalam karya seni?
Djoko Sardjono memilih pendekatan yang berbeda. Ia melukis bangunan-bangunan bersejarah, khususnya di Yogyakarta, dengan gaya impresionisme dan teknik brush stroke. Ini bukan sekadar melukis bangunan, tetapi merupakan usaha untuk menghidupkan kembali sejarah dan menghadirkan kembali masa lalu ke dalam masa kini. Butuh intuisi, imajinasi, dan pemahaman mendalam tentang sejarah, arsitektur, dan nilai estetika untuk mencapai hal ini. Dominasi warna cokelat dengan sentuhan hijau, merah, dan kuning menciptakan daya pikat tersendiri dalam karyanya.
Goresan kuas yang kuat dan penuh emosi pada kanvas seolah menceritakan sebuah narasi, layaknya cerita yang mengalir dalam sejarah bangunan yang dilukisnya. Warna-warna dipilih dengan cermat untuk mengungkapkan suasana, nuansa, dan makna yang terkandung dalam bangunan bersejarah tersebut.
Bagaimana gerak dan tarian diabadikan dalam sebuah lukisan?
Rakhmat Supriyono, seniman ketiga, terpesona oleh gerak. Ia melukiskan gerak para penari Jawa dan Bali, serta aktivitas keseharian, menangkap vitalitas dan dinamika kehidupan. Bagi Rakhmat, tarian bukan hanya sekadar gerak fisik, tetapi juga ekspresi budaya, tradisi, dan sejarah suatu masyarakat. Meskipun gaya lukisannya cenderung realis, goresan-goresan liar yang ekspresif menambah daya hidup dan dinamika pada karyanya. Ia mengabadikan "waktu-kehidupan" (la durée) dalam setiap sapuan kuasnya.
Pameran "Colors of Life" bukan sekadar pameran seni rupa biasa. Ia adalah perjalanan penuh makna yang mengajak kita merenungkan hubungan antara warna, kehidupan, dan ekspresi diri. Tiga seniman ini berhasil menampilkan keindahan dan kedalaman yang tersembunyi di balik setiap goresan kuas dan potongan kertas.
Apakah pameran ini layak untuk dikunjungi?
Bagi pencinta seni, pameran ini adalah suatu pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Keunikan pendekatan masing-masing seniman, kombinasi teknik dan gaya, serta pesan mendalam yang disampaikan, menjadikan pameran ini sangat menarik dan kaya akan nilai estetika serta makna filosofis.
Melalui karya-karya mereka, kita diajak untuk melihat warna bukan hanya sebagai elemen visual, tetapi sebagai bahasa yang mampu mengungkapkan keindahan, ketegangan, sejarah, dan vitalitas kehidupan itu sendiri.
Sumber : https://ketiketik.com/naluri-warna-melihat-pameran-colors-of-life/